Thema Webinar " Rp500 Triliyun: Untuk BBM Atau Si Miskin?

 


GARUDANEWS.news // Nasional||Apapun keputusan yang dibuat pemerintah terhadap subsidi BBM pastilah akan memberikan dampak yang menyakitkan. Tetapi lebih baik menghapus subsidi daripada mempertahankannya. Menunda menghapus subsidi hanyalah menunda masalah, demikian pendapat Dr. Totok Hari Wibowo, Ketua AAKI (Asosiasi Analis Kebijakan Indonesia). Hal ini dikemukakan dalam webinar bertajuk “BBM atau UMKM” yang diselenggarakan ANN (Akademia Noto Negoro) pada Rabu malam, 31 Agustus 2020. 

Menurut Totok, kenaikan harga-harga barang setelah kenaikan harga BBM hanyalah fenomena sementara, yang bisa dikelola dengan jaring pengaman atau bantalan sosial. Uang subsidi BBM senilai 500 – 700 triliun lebih baik digunakan untuk hal-hal yang lebih produktif dan tepat sasaran, seperti infrastuktur, pendidikan, kesehatan dsb. Selanjutnya pemerintah wajib melakukan reformasi besar-besaran terhadap tata-kelola migas yang masih menyimpan bolong-bolong di sana-sini. Sebagai pegawai di Kemenko Perekonomian, dia menilai bahwa kegiatan berbagai instansi pemerintah masih sangat tidak terkoordinasi. Seringkali mereka membuat kesepakatan, tapi tidak satu pun instansi yang kemudian bekerja merealisasi kesepatan itu.

Reformasi tata-kelola ataupun birokrasi pada umumnya itu diamini oleh Dr. Hempri Suyatna (UGM).  Dia mempertanyakan manajemen Pertamina, termasuk struktur gaji para pegawai dan pejabatnya, mungkin bisa diperbaiki lagi untuk efisiensi. Dengan efisiensi pengelolaan, maka bisa saja subsidi dipertahankan. Pilihan lain adalah membatasi subsidi BBM bagi orang miskin saja. Untuk itu pangkalan data harus benar-benar cermat dan bersih, sehingga tidak bisa diselewengkan, termasuk untuk kepentingan politik. Saran Hempri ini sekaligus menanggapi pertanyaan Dr. Amin Tohari (UINSA) tentang BLT untuk UMKM.


Sementara itu Yakob Noho Nani (UNG) cenderung menolak kenaikan harga BBM alias pencabutan subsidi. Dia melihat masih banyak hal yang dapat dibenahi di dalam birokrasi maupun tata-kelola pemerintah secara keseluruhan. Dia menyoroti, misalnya, fungsi pemprov yang merupakan pemerintah otonom tapi sekaligus wakil pemerintah pusat di daerah. Hal ini duplikasi dan tidak efisien. Mengapa pemprov tidak dijadikan wakil pemerintah pusat saja? Jadi tidak perlu ada dinas-dinas provinsi, hemat biaya. Biarlah otomi daerah sepenuhnya dilaksanakan oleh pemerintah kabupaten/kota, didukung oleh pemerintah pusat. Pemprov mengkoordinir dan mengarahkan gerak pembangunan di provinsinya masing-masing, menyatupadukan apa kemauan pemerintah pusat dan pemkab/pemkot beserta masyarakatnya.

Webinar ANN kali ini diikuti oleh 13 peserta, dengan moderator Suprapti Widiasih (STIAMI). Selain mendiskusikan kenaikan harga BBM, peserta juga menyinggung peran analis kebijakan dalam perumusan kebijakan. Ini dipertanyakan oleh Dr. Sukarso (UNSOED). Menanggapi hal ini Totok mengatakan, bahwa analis kebijakan sebenarnya memegang peran yang krusial dalam pembuatan kebijakan di berbagai instansi pemerintah. Tapi seringkali mereka terpinggirkan dalam proses tersebut. Kebijakan seringkali lebih bernuansa politis (untuk kepentingan kelompok) daripada evidence-based yang berorientasi pada kemaslahatan umum.

Beberapa peserta lain yang turut menyemarakkan diskusi ini di antaranya adalah: Sunarto (UINSA), Haryono (POLKESYO), Ambar Teguh Sulistiyani (UGM), Firdaus (USN), Rosidah (UNY), Sunarto (UINSA) dan Raina Dwi Miswara (ANN). Peserta yang terakhir ini di luar forum mempertanyakan, kenapa tiba-tiba ada wacana penghapusan subsidi BBM? Bukankah kita telah dua tahun ini tidak banyak mengkonsumsi BBM karena pandemi, yang artinya anggaran subsidi telah banyak dihemat selama dua tahun ini? 

Tampaknya memang kebijakan ini perlu dirumuskan secara terbuka-partisipatif. Ketua ANN  Samodra Wibawa mengatakan, bahwa setiap kebijakan memang akan menimbulkan kerugian atau hilangnya kenikmatan bagi sekelompok masyarakat. Tidak ada kebijakan yang memuaskan semua kelompok. Pasti ada ongkos yang harus dibayar. Untuk itu, agar semua pihak bisa menerima keputusan apapun yang dibuat oleh pemerintah, semua pihak perlu diajak rembugan secara terbuka. Tidak hanya DPR tapi juga ormas dan berbagai kelompok kepentingan lain perlu didengar suaranya. 

(Red)

Baca Juga
Lebih baru Lebih lama