Rektor Universitas Sumatera Utara (USU) Prof Dr. Muryanto Amin, M.Si. ( Red ) |
GARUDANEWS.net // MEDAN ||Harta kekayaan Rektor Universitas Sumatera Utara (USU) Prof Dr. Muryanto Amin, M.Si belakangan ini menjadi sorotan sejumlah pihak di tengah keprihatinan turunnya rangking USU dan kini berada di bawah Universitas swasta Medan Area (UMA) sebagaimana dilansir UniRank.
Menyusul penurunan rangking USU itu sempat menjadi polemik dan merembet ke soal harta Rektor USU yang terlihat meningkat sejak dilantik 28 Januari 2021 lalu karena ada peningkatan secara drastis dalam 2 tahun terakhir yakni sekitar Rp 5 miliar dari Rp 8,5 miliar 2019 dan saat ini sudah mencapai Rp 13,16 miliar.
Dikutip dari laman resmi KPK (elhkpn.kpk.go.id), Muryanto Amin memiliki harta kekayaan senilai Rp8,5 M. Laporan Harta Kekayaan Penyelenggara Negara (LHKPN) disampaikannya pada 30 April 2020 untuk periodik 2019.
Harta Muryanto Amin tersebut antara lain terdiri dari tanah dan bangunan di Medan dan Jakarta Pusat dengan nilai Rp4,1 M. Kemudian, memiliki 3 unit mobil dengan nilai Rp960 juta. Lalu, harta bergerak lainnya,surat berharga dan kas dengan nilai Rp3,4 M lebih..
Secara umum Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) memberikan penjelasan mengenai LHKPN. Menurut Plt juru bicara KPK, Ipi Maryati, besar atau kecilnya nilai harta yang dilaporkan tidak dapat dijadikan ukuran atau indikator untuk menilai harta tersebut terkait atau tidak terkait tindak pidana korupsi.
LHKPN yang telah diumumkan di situs e-LHKPN juga tidak dapat dijadikan dasar oleh penyelenggara negara atau pihak mana pun untuk menyatakan bahwa harta kekayaan tersebut tidak terkait tindak pidana," kata Ipi dalam keterangan tertulis kepada Kumparan com beberapa waktu lalu.
Kata dia, perubahan harta kekayaan baik itu berupa peningkatan atau penurunan nilai harta kekayaan adalah hal yang mungkin terjadi.
Ada sejumlah faktor penyebab kenaikan atau pertumbuhan harta kekayaan, termasuk yang dilaporkan di LHKPN. Salah satunya adalah terkait peningkatan nilai aset.
"Beberapa faktor yang dapat menyebabkan peningkatan harta kekayaan, seperti terjadinya apresiasi nilai aset karena kenaikan harga pasar. Misalnya, terkait aset tanah karena terjadi kenaikan NJOP," ungkap Ipi.
Selain itu, bertambahnya kekayaan juga bisa terjadi karena beberapa hal lain. Seperti penambahan aset; adanya jual-beli, hibah, waris, atau hadiah; penjualan aset dengan harga di atas harga perolehan; pelunasan pinjaman; atau karena ada harta yang tidak dilaporkan pada pelaporan sebelumnya.
"LHKPN yang telah diumumkan di situs e-LHKPN juga tidak dapat dijadikan dasar oleh penyelenggara negara atau pihak mana pun untuk menyatakan bahwa harta kekayaan tersebut tidak terkait tindak pidana," kata Ipi dalam keterangan tertulisnya kepada Kumparan.com beberapa waktu lalu.
Kata Ipi, perubahan harta kekayaan baik itu berupa peningkatan atau penurunan nilai harta kekayaan adalah hal yang mungkin terjadi.
Ada sejumlah faktor penyebab kenaikan atau pertumbuhan harta kekayaan, termasuk yang dilaporkan di LHKPN. Salah satunya adalah terkait peningkatan nilai aset.
"Beberapa faktor yang dapat menyebabkan peningkatan harta kekayaan, seperti terjadinya apresiasi nilai aset karena kenaikan harga pasar. Misalnya, terkait aset tanah karena terjadi kenaikan NJOP," ungkap Ipi.
Sebaliknya, harta kekayaan yang dilaporkan juga dapat mengalami penurunan. Termasuk karena terjadi depresiasi nilai aset karena turunnya harga pasar atau penyusutan aset; penjualan aset dengan harga di bawah harga perolehan; pelepasan aset karena rusak atau dihibahkan; atau penambahan nilai utang.
"Atau karena ada harta yang telah dilaporkan sebelumnya tetapi tidak dilaporkan kembali," jelas Ipi.
Ipi menyebut LHKPN merupakan self-assessment yang diisi dan dikirimkan sendiri oleh Penyelenggara Negara (PN) atau Wajib Lapor (WL) kepada KPK melalui situs e-LHKPN. Sehingga, sebagai salah satu instrumen penting dalam pencegahan korupsi, LHKPN mendorong transparansi, akuntabilitas dan kejujuran dari para penyelenggara negara.
"Untuk itu, KPK mengapresiasi seluruh wajib lapor yang telah menyampaikan LHKPN-nya secara tepat waktu, jujur, benar dan lengkap," kata Ipi.
"Efektivitas LHKPN sebagai instrumen pencegahan korupsi, bukan hanya tanggung jawab KPK. Kejujuran penyelenggara negara dan peran serta masyarakat juga menjadi faktor penentu keberhasilan pencegahan korupsi melalui LHKPN," sambungnya.
Disebutkan, LHKPN juga tidak mengenal pemisahan harta.
"Harta yang dilaporkan adalah meliputi harta atas nama penyelenggara negara, pasangan, dan anak yang masih dalam tanggungan penyelenggara negara," kata Ipi.
Tidak Mempunyai Mekanisme
Sementara menurut pengamat, Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) dinilai tidak mempunyai mekanisme buat menindaklanjuti atau menyelidiki Laporan Harta Kekayaan Penyelenggara Negara (LHKPN) yang diduga janggal, terkait dengan pejabat Direktorat Jenderal Pajak Rafael Alun Trisambodo yang mempunyai harta sebesar Rp 56,1 miliar.
"KPK seperti enggak punya mekanisme yang jelas untuk menindaklanjuti LHKPN. Menurut saya kok ngeles kalau bilang belum ditemukan indikasi tindak pidana," kata pakar tindak pidana pencucian uang Yenti Garnasih saat dihubungi Kompas.com, Sabtu (25/2/2023).
Menurut Yenti yang pernah menjadi panitia seleksi calon pimpinan KPK 2019-2023, seharusnya KPK yang diberi kewenangan buat mengumpulkan data harta kekayaan penyelenggara negara tidak hanya menerima laporan dari pejabat.
Yenti mengatakan, seharusnya KPK mendalami ketepatan laporan dan melakukan verifikasi terhadap data harta kekayaan yang disampaikan para pejabat.
"Setelah itu nilainya itu dicek. Benar enggak. Sumbernya dari mana? Setelah itu laporan berkala. Kalau ditemukan ada yang enggak wajar itu dikejar. Harus ditindaklanjuti. Bukan lapor saja lalu sudah selesai," ucap Yenti.
Padahal menurut Yenti, LHKPN adalah bagian dari mekanisme pencegahan dan deteksi korupsi yang dilakukan oleh penyelenggara negara. Selain itu, para pejabat juga mempunyai kewajiban buat bisa mempertanggungjawabkan asal-usul hartanya yang didapat.
"Semua aparatur sipil negara yang diwajibkan lapor LHKPN ya harus dijalankan. Itu kan satu upaya pencegahan. Yang paling penting menjalankan kebijakan LHKPN itu tidak setengah hati," ujar Yenti.*** (Dari berbagai sumber)